Jumat, 09 September 2011

wasiat hidup


BAB  I
PENDAHULUAN

Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam kehidupanya.Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengemban hak dan kewajiban,selama manusia  masih hidup di dalam masyarakat,dia mempunyai tempat di dalam masyarakat disertai dengan hak hak dan kewajiban terhadap orang atau anggota lain dari masyarakat itu dan terhadap benda benda yang berada dalam masyarakat itu.Manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini mengalami  tiga peristiwa penting,yaitu:waktu ia dilahirkan,waktu ia kawin dan waktu ia meninggal dunia

 Pada umumnya setiap orang mempunyai hak untuk membuat surat  atau akta wasiat,yang di dalamnya terkandung kemauan terakhir dari pihak yang membuatnya dan hal ini boleh di cabut kembali selama dia (si pewasiat) masih hidup.

Dasar hukum pelaksanan wasiat dapat dilihat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2) ayat 180.Artinya:”Diwajibkan atas kamu,apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda tanda) maut,jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabat secara ma’ruf,(ini adalah) kewajiban atas orang orang yang bertaqwa.”

Jika harta warisan yang ditinggalkan oleh pewasiat jatuh kepada pihak lain yang sama sekali bukan ahli warisnya,atau permasalahan dari segi jumlah harta yang diwasiatkan ,sering kali menimbulkan persoalan diantara para ahli waris dengan yang bukan ahli waris,akan tetapi sesuai surat wasiat,orang yang bukan ahli waris tersbut mendapat harta wasiat.Maka dalam agama Islam ada hukum wasiat,syarat syarat wasiat,dan cara pelaksanaan wasiat,agar terhindar dari pertikaian dan dilaksanakan dengan dasar taqwa kepada Allah SWT.

Walaupun wasiat berdasarkan Hukum Islam adalah salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama (pasal 49 Undang Undang No 3 Tahun 2006),namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama,mungkin karena wasiat dianggap perbuatan baik,dan tidak diperlukan akta sebagai alat bukti nilai objektif.

Wasiat yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dimuat dalam Bab V Pasal 194-209.Ketentuan wasiat yang diatur di dalamnya menyangkut mereka yang berhak berwasiat,jenis jenis wasiat,hal hal yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat.



























BAB  II
PEMBAHASAN


A . Pengertan  Wasiat

Menurut pengertian bahasa umum:pesan.Sedang menurut istilah Syariah ialah:Pesan terhadap sesuatu yang baik,yang harus dilaksanakan sesudah seseorang meninggal.Atau tindakan seeorang terhadap harta peninggalannya yang disandarkan kepada keadaan setelah meninggal.Kata wasiat disebut dalam Al Quran seluruhnya sebanyak 25 kali. Dalam penggunaannya ,kata wasiat berarti :berpesan,menetapkan dan  memerintah (QS,al-Anam,6:151,152,152,al-Nisa’,4:132),mewajibkan(QS.al-Ankabut,29:8,Luqman,31:14,al-Syura,42:13,al-Ahqaf,46:15),dan mensyariatkan (Al-Nisa’4:11).Dengan pengertian istilah,Sayid Sabiq mengemukakan :Pemberian seseorang kepada orang lain,berupa benda,uang atau manfaat,agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewasiat meninggal.
Satu pendapat mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang disandarkan pada sesudah meninggalnya si pewasiat dengan jalan  tabarru’  (kebaikan tanpa menuntut imbalan) Pengertian ini untuk membedakan wasiat dengan hibah.Jika hibah berlaku sejak si pemberi menyerahkan pemberiannya,dan diterima oleh yang menerimanya,maka wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.Ini sejalan dengan definisi Fuqaha’Hanafiyah:Wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara sukarela (tabarru’),yang pelaksanaannyanditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang memberi wasiat.
Fuqaha (ulama fiqih ) Malikiyah,Syafiiyah dan Hanabilah memberi definisi yang lebih rinci; yaitu “suatu transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berha memiliki 1/3 harta peninggalan si pemberi setelah meninggal,atau mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat kepada penerima”.
Kompilasi Hukum Islam mendefenisikan wasiat sebagai berikut:Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia”(Pasal 171 huruf f KHI)
Di dalam terminology hukum perdata positif,sering disebut dengan istilah testament .Namun demikian ada perbedaan perbedaan prinsipil antara wasiat menurut Hukum Islam dengan testament,terutama yang menyangkut criteria dan persyaratannya.Kompilasi  mengambil jalan tengah ,yaitu meskipun wasiat merupakan transaksi tabarru’,agar pelaksanaannya mempunyai kekuatan hokum,perlu ditata sedemikian rupa,agar diperoleh ketertiban dan kepastian hukum.Karenanya tidak ada dalam syariat Islam sesuatu wasiat yang wajib di lakukan dengan jalan putusan hakim.
Supaya  tadak terjadi kesalahpahaman,wasiat hendaknya tertlis bila mampu menulis.Sebab bagi ahli waris yang tidak menyaksikan wasiat itu dapat menemukan data,dan untuk menjaga penyalahgunaan,(HR.Bukhari dan Muslim).Waspat tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta yang ditinggalkan,setelah selesai dikeluarkan biaa pelaksanaanjenazah dan melunasi utang-utangnya.(HR.Bukhari dan Muslim).Atau jika pewasiat tidak dapat menulis ,hendaknya ia mendatangkan dua orang saksi laki-laki yang adil,dipercaya dan jujur untuk menyaksikan wasiat yang ia berikan kepada orang yang ia tunjuk.

















B .Dasar Hukum

Para ulama mendasarkan wasiat kepada Al Quran, Sunnah dan Ijtima’ Dalam konteks Hukum Islam di Indonesia, kompilasi merupakan aturan yang dipedomani.

1.      Al-Quran.
Firman Allah SWT ,QS.al Baqarah ,2:180 yang artinya “Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)maut,jika ia meninggalkan harta uyang banyak,bertwasiat untuk ibu bapak,dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orangorang yang bertaqwa”.

 QS.al-Baqarah 2:240  “Dan orang orang yang akan meninggal diantaramu danmeninggalkan isteri,hendaklah berwasiat untuk isteri isterinya,(yaitu)diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya),akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu(wali atau waris dari yang meninggal ) membiarkan mereka berbuat ma’ruf terhadap diri mereka.

 QS. Al –Maidah, 5:106, “Hai orang orang yang beriman apabila salah seorang kamu menghadapi kematian,sedang dia akan berwasiat,maka hendaknya (wasiat itu)disaksikan oleh dua orang saksi yang adil diantara kamu,atau dua orang  yang berlainan agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu ditimpa bahaya kematian”.

Ayat ayat di atas menunjukkannsecara jelas mengenai hukum wasiat dan teknis pelaksanannya,secara materi yang menjadiobjek wasiat.Namun demikian para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menafsirkan hokum wasiat.Tentang kedudukan wasiat dalam Islam akan diuraikan setelah dasar dasar hukum wasiat.

2. Al-Sunnah
Riwayat Al – Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar ra,: Rasulullah SAW.bersabda: ” Bukanlah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam,kecuali wasiatnya telah dicatat di sisi –Nya.

Riwayat  Al- Bukhari dari Sa’ad Ibn Abi Waqqas :  Nabi SAW,datang menjengukku  ketika di Mekkah,beliau tampaknya kurang senang meninggal di bumi yang ditinggalkan, dan beliau bersabda: “ Semoga Allah mengasihimu Ibn Afra’ “. Aku bertanya: “Wahai Rasullah SAW, aku akan berwasiat dengan seluruh hartaku “. Beliau menjawab :”Jangan”. “Separuh” ,tanyaku. “Jangan “,jawab beliau. Aku bertanya: “Sepertiga”? Kata beliau: “Sepertga,sepertiga adalah banyak.Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (kecukupan) adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan meminta minta kepada orang lain.Sesungguhnya kamu ketika menginfakkan sesuatu adalah merupakan  sadaqah hingga sesuap nasi yang engkau suapkan kepada mulut isterimu.Dan semoga Allah akan mengangkatmu.sehingga orang lain dapat memperoleh manfaat dari kamu,sementara sebagian lain menderita,dan hari itu tidak ada lain kecuali seorang anak perempuan.

Imam Muslim meriwayatkan dalam redaksi yang lebih ringkas,isinya sejalan.Dalam versi lain lagi,al-Bukhari meriwayatkan Sa’ad Ibn Waqqas berkata: Aku menderita sakit kemudian Nabi SAW.mengunjungiku dan aku tanyakan: “ Wahai Rasulullah SAW.berdoalah tuan kepada Allah semoga Dia tidak menolakku “.Beliau bersbda: “Semoga Allah meninggikan (derajadmu),dan manusia lain akan memperoleh manfaat dari akmu “. Aku bertanya : “Aku ingin mewasiatkan hartaku separuh,namun akau ada seorang anak perempuan”. Beliau menjawab: “Separuh itu banyak “. Aku bertanya (lagi): “Sepertiga ?”. Beliau menjawab :”Sepertiga,sepertiga adalah banyak atau besar “.Beliau bersabda; “Orang orang berwasiat sepertiga,dan yang demikian itu boleh bagi mereka” (Riwayat Al- Bukhari )

Hadis hadis tersebut bersumber dari sanad yang sama,yaitu Sa’ad Ibn Abi Waqqas,meskipun dalam redaksi yang berbeda,dengan melihat perawinya imam Bukhari dan Muslim,cukup kuat dijadikan dasr hukum pelaksanan wasiat.Dengan demikian dapat dipahami bahwa wasiat itu penting,selain sebagai pelaksanaan ibadah untuk investasi kehidupan akhirat,ia akan memberi manfaat bagi kepentinan orang lain atau masyarakat pada umumnya.Meskipun realisasinya dibatasi maksimal 1/3 dari harta si pewasiat.Ini dimaksudkan agar hak ahli waris tidak terkurangi,sehingga mengakibatkan kehidupan mereka  terlantar.

Riwayat Ibn Majah dari Jabir berkata :Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa meningal dan berwasiat, makamia mati pada jalan dan sunnah,meninggal pada jalan taqwa dan persaksian,dan juga meninggal dalam keadaan diampuni (dosa- dosanya)”.

3. .Ijma’
Kaum muslimin sepakat ahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan Rasul-Nya.Ijma’ demikian didasarkan pada ayat ayat Al Quran dan Al Sunnah seperti dikutip di atas.

C. Hukum Wasiat.
Kompilasi hukum Islam di Indonesia tidak menegaskan status hukum wasiat itu .Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hokum wasiat.Mayoritas Ulama berpendapat bahwa wasiat  tidak  fardu ‘ain ,baik kepada orang tua atau kerabat yang sudah menerima warisan.Begitu juga kepada mereka yang karena sesuatu hal tidak mendapat bagian warisan.Alasannya,pertama,andaikan wasiat itu diwajibkan,niscaya Nabi SAW telah menjelaskannya.Nabi tidak menjelaskan masalah ini,lagi pula beliau menjelang meninggal,tidak berwasiat apa-apa .Kedua,para sahabat dalam prakteknya juga tidak melakukan wasiat,namun menurut Sayid Sabiq,para sahabat mewasiatkan sebagian hartanya untuk taqarrub kepada Allah.Menurut mayoritas Ulama kebiasaan semacam itu dinilai Ijma’ sukuti (consensus secara tidak langsung ) bahwa wasiat bukan fardu ain.Wasiat sebagai tindakan hokum yang disaksikan dan dibenarkan oleh Nabi SAW,adalh suatu isyarat bahwa ibadah wasiat dianjurkan dalan ajaran Islam.
Implikasi wasiat yang dipahami mayoritas ulama tersebut adalah,kewajiban wasiat hanya  dipenuhi jika seseorang berwasiat.Tetapi jika tidak berwasiat maka tidak perlu dipenuhi.Mereka beralasan ,bahwa kewajiban wasiat seperti dalam ayat ,berlaku pada  masa awal Islam.Ketentuan dalam  QS al-Baqarah telah dinasakh oleh surat al – Nisa ‘,4:11-12.Oleh karena itu kedua orang tua dan kerabat,baik yang menerima wasiat atau tidak,telah tertutup haknya untuk menerima wasiat.
Menurut al-Alusy,penghapusan berlakunya ayat wasiat karena orang yang berwasiat tidak dapat lagi memperhatikan batas batas yang diperkenankan dalam berwasiat sebagai diisyaratkan Al Quran dalam kalimat bi al – ma’ruf . Ini dipandang sebagai iktikad yang tidak baik.Atas dasar itu .Allah mengalihkan wasiat melalui ketentuan surat al-Nisa’ 4:11-12.Dengan demikian peritah berwasiat kepada keluarga dan kerabat berakhir dan berlakulah hukum warisan
Abu Dawud,Ibn Hazm dan Ulama Salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardu ain (kewajiban individual).mereka beralasan kepada QS al-Baqarah 2:180 dan al-Nisa 2:11-12,…sesudah dipenuhi wasiat wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangnya….Mereka memahami,bahwa Allah mewajibkan hamba Nya untuk mewariskan sebagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang lain  dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaannya daripada pelunasan utang.Adapun maksud”kepada orang tua dan kerabat “ dipahami,karena mereka mereka tidak menerima wasiat.Jadi merupakan kompromi dari ayat wasiat dan ayat warisan.Ini sejalan dengan hadis : “ Tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan kecuali apabila ahli waris lain membolehkan (Riwayat  al Daruqutni )
Ketentuan tersebut kemudian dikembangkan dalam bentuk wasiat wajibah, yang telah diintrodusir dibeberapa Negara muslim,termasuk Indonesia,meski yang terakhir ini mengalami perubahan makna dan nuansa,yaitu hanya diberikan kepada anak angkat dan orang tua angkat (Pasal 209 KHI).Dalam hal ini persetujuan ahli waris lain sangat menentukan.Namun demikian apabila istilah  ahli waris yang tidak menerima warisan itu dipahami sebagai zawi’ al-arham  yang menurut QS.al - Nisa’ ,4:11-12.tidak berhak menerima warisan,maka tindakan hokum wasiat dapat dilakukan,tidak perlu menunggu persetujuan ahli waris yang lain.Karena pada hakekatnya mereka-zawi’ al- arham tersebut- bukan ahli waris meskipun hubungan kekerabatannya bias sangat dekat seperti cucu perempuan dari garis perempuan.
Pendapat senada dikemukakan oleh Dawud al-Zahiiiry,Ibn Jarir al-Tabary dan sebagian tabi’in seperti al Dahhaq,Tawus dan al-Hasan,yaitu bahwa wasiat hukumnya wajib.Mereka beralasan,bahwa ynag dinasakh oleh ahli waris adalah wasiat yang diberikan kepada ibu bapak dan kerabat yang sudah ditentukan bagiannya.Karena itu mereka yang tidak menerima warisan,tidak termasuk bagian yang dinasakh.
Imam Malik mengemukakan pendapat yang lebih realistis,menurut ia,jika si mati tidak berwasiat,tidak perlu dikeluarkan harta untuk pelaksanan wasiat,tetapi jika si mati berwasiat maka diambil sepertiga hartanya untuk wasiat.Berbeda dengan al-Syafi’i .Al Syafi’I mengatakan,meskipun si mati tidak berwasiat sebagian hartanya tetap diambil untuk keperluan wasiat.
Adalah menarik komentar Mustafa Syalabi.Ia mengatakan kehadiran system wasiat dalam hokum Islam sangat penting artinya sebagai penangkal kericuhan dalam keluarga.Karena ada diantara anggota keluarga yang tidak berhak menerima harta peninggalan dengan jalan warisan.Padahal ia telah cukup berjasa dalam pengadaan harta itu.Atau seorang cucu miskin terhalang oleh pamannya yang kaya,atau karena berbeda agama dan sebagainya,maka dengan system wasiat yang diatur dalam hukum islam  kekecewaan itu dapat diatasi.
Pemahaman tentang status hokum wasiat ini ternyata mengalami perkembangan.Abd al Rahman al-jaziry mengembangkan bahwa hokum wasiat dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Fuqaha’Hanafiyah mengemukakan bahwa dilihat dari segi orang yang berwasiat  terdapat empat hokum;yaitu wajib,sunat,mubah dan makruh.
Fuqaha Syafiiyah membagi hokum wasiat kepada lima ;wajib,haram jika warisan itu diberikan kepada orang yang berbuat kerusakan,makruh jika wasiat lebih dari sepertiga,atau diberikan kepada orang yang telah menerima warisan,sunnah karena wasiat diberikan kepada ahli waris yang tidak menerima bagian warisan,atau kepada fskir miskin,dan mubah seperti wasiat kepada orang kaya.
Fuqaha’ Hanabilah,juga membagi hukum wasiat menjadi lima,demikian fuqaha’ Malikiyah.

D . Syarat syarat dan Rukun wasiat

Secara garis besar syarat syarat wasiat adalah mengikuti rukun rukunnya.Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam memberi uraian tentang rukun dan syarat wasiat.Sayid Syabiq misalnya,menyebut rukun wasiat hanya satu,yaitu penyerahan dari orang yang berwasiat.Agaknya ia melihat wasiat sebagai tindakan hokum yang bisa sah dan berlaku secara sepihak,tanpa keterlibatan fihak yang menerima.Lebih lebih berlakunya isi wasiat adalah setelah si pewasiat meninggal dunia..Cara demikian,jika dihadapkan dengan kenyataan sekarang,tentu saja banyak mengandung banyak sisi kelemahan,yang apabila tidak dibenahi akan dapat mengancam eksistensi dan niat baik si pewasiat.Karena itu dibawah ini akan dikemukakan pandangan ulama lain.
Ibn Rusyd dan al-jaziry mengemukakan pendapat ualama secara muqaranah (komparatif).Ada empat rukun Wasiat : 1)  al-mushii (orang yang berwasiat), 2) al-mushaa- lah (orang yang menerima wasiat),  3)  al-mushaa bih  (barang yang di wasiatkan ) ,4) shighat (redaksi)
1).Orang yang berwasiat.
Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah orang yang memiliki barang manfaat secara sah dan tidak ada paksaan.Namun mereka berbede dalam menentukan batas usia,karena ini erat kaitannya dengan kepemilikannya.Imam Malik mengatakan wasiat orang safih (bodoh) dan anak anak yang belum baligh hukumnya sah.Pendapat ini didasarkan pada riwayat Umar Ibn al – Kattab yang membolehkan usia anak yang baru berumur 9 atau 10 tahun kepada seorang putri pamannya senilai 30 dirham.Imam Hanafi berpendapat bahwa wasiat anak yang belum baligh hukumnya tidak sah.Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat.Kaitannya dengan orang kafir,wasiat mereka sah hukumnya,sepanjangbarang yang diwasiatkan tidak diharamkan.Undang undang wasiat Mesir menyatakan si pewasiat harus sudah baligh,berakal,sehat dan cerdas.
Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini mirip dengan pendapat Hanafi dan Syafi’I dalam satu pendapatnya,dinyatakan dalam pasal 194 :
(1)    Orang yang telah berumur sekurang kurangnya 21 tahun,berakal sehat,dan tanpa       adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
(2)    Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat
(3)    Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewaris meninggal dunia.
Pasal 194 di atas menegaskan bahwa batasan minimal orang yang,yang boleh berwasiat adalah orang yang benar benar telah dewasa secara undang-undang.Berbeda dengan batasan baligh dalam fiqh,karena anak anak di Indonesia pada usia dibawah 21 tahun dipandang belum atau tidak mempunyai hak kepemilikan karena masih menjadi tanggungan orang tua,kecuali apabila sudah dikawinkan.

2).Orang yang menerima wasiat
Para Ulama sepakat bahwa orang-orang atau badan yang menerima wasiat aalah bukan ahli waris,dan secara hokum dapat dipandang sebagai cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda,ini sejalan dengan Kompilasi pasal 171 huruf f, pasal 191 ayat (1) di atas
Riwayat dari Abu Umamah berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW.bersabda dalam khutbah Haji tahun wada’:”Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada orang yang mempunyai hak akan hak-haknya,maka tidak sah wasiat kepada ahli waris “.
Hadis tersebut oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan ayat yang menjelaskan bahwa wasiat adalah untuk kedua orang tua dan kerabat.Mayoritas ulama berpendapat bahwa wasiat kepada kerabat yang bukan ahli waris boleh dilaksanakan tapi makruh.Sementara al-Hasan,Tawus,dan Ishaq menyatakan “Wasiat kepada kerabat ditolak dengan menunjuk ayat di atas”.Mereka mengemukakan hadis riwayat dari Imran Ibn Husain:Seorang laki-laki memerdekakan enam orang hamba sahaya miliknya dalam keadaan sakit menjelang meninggal,karena ia tidak memilikiharta selain mereka,setelah itu ia membebaskan dua orang dan menetapkan sebagai hamba empat orang.
Persoalannya adalah,bagaimana sekiranya wassiat diberikan kepada kerabat yang menerima warisan dan ahli waris lainnya menyetujui.Dalam kaitan ini,Ibn Hazm dan Fuqaha’ malikiyah yang masyihur,tidak membolehkannya secara mutlak.Alasanya Allah telah menghapus wasiat melalui ayat waris,begitu juga hadis.
Fuqaha’Syiah Ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli waris yang menerima warisan adalah boleh,kendatipun ahli waris lainnya tidak menyetujuinya.Dasar petunjuk umum ( dalalah al –am ) QS.al –Baqarah,2:180.
Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah mazhab Syafi’iyah,Hanafiyah dan Malikiyah.Dasarnya:”Tidak sah wasiat kepada ahli waris,kecuali apabila ahli waris lain membolehkannya” (HR al Daruqutny)
Kompilasi pasal 195 mengemukakan masalah ini,yang juga mengatur teknis pelaksanan wasiat.
Sayid sabiq mengemukakan syarat orang yang menerima wasiat ada tiga ,pertama tidak ahli waris si pewasiat,kedua,sipenerima wasiat hadir pada waktu wasiat dilakukan,dan ketiga,si penerima tidak melakukan pembunuhan yang di haramkan si pewasiat.
Kompilasi kemudian menjelaskan bahwa dalam berwasiat hendaknya orang yang menerima ditunjuk secara tegas.Pasl 196 berbunyi : Dalam wasiat baik secara tertulis atau lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

3). Benda yang diwasiatkan
Pada dasarnya benda yang diwasiatkan adalah benda benda atau manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia secara positif.Para ulama sepakat dalam masalah tersebut.Namun mereka berbeda dalam wasiat yang berupa manfaat suatu benda,sementara bendanya itu sendiri milik pemiliknya atau keluarganya.Fuqaha’Amsar membolehkan,sementara Ibn Laila dan Ibn Syubramah serta Ahl Zahir membatalkan wasiat yang hanya berupa manfaat suatu benda.
Sayid Sabiq menegaskan bahwa wasiat dengan segala benda atau manfaat,seperti buah dari satu pohon,atau anak dari satu hewan,adalah sah,Yang penting kata Sabiq adalah benda atau manfaaf itu dapat diserahkan kepada si penerima wasiat sepeninggal si pewasiat..Ini sepakat dengan pendapat Jumhur (Mayoritas Ulama).Menurut mereka,manfaat dapat dikategorikan      sebagai benda (amwal),karena itu wasiat berupa manfaat saja hukumnya boleh.Pasal 198 Kompilasi menyebutkan :”Wasiat yangberupa hasil dari satu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu”.Pembatasan  yang dimaksud kompilasi ini,kelihatannya untuk memudahkan tertib administrasi,karena melihat substansi wasiat sesungguhnya adalah untuk waktu selama-lamanya,karena ia termasuk jenis sadaqah jariah.
Selanjutnya pasal 200 Kompilasi memberi penjelasan;Harta wasiat yang berupa barang tak bergerak bila karena suatu sebab yang sah mengalami penyusutan ,atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia,maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.
Wasiat hanya dapat dilaksanakan 1/3 dari seluruh harta si pewasiat.Tidak boleh lebih,ini merupakan konsensus  ulama.Kompilasi merumiskan dalam pasal 201 : Apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan,sedang ahli waris yang ada tidak menyetujuinya maka wasiat hanya dilaksanakan sampai batas sepertiga harta warisan.
Pasal 202 berbunyi : Apabila wasiat ditujukan  untuk berbagai kegiatan kebaikan,sedangkan harta wasiat tidak mencukupi maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang di dahulukan pelaksanaannya.
Penegasan pasal 201 Kompilasi mengacu kepada suatu hadis riwayat dari Sa’ad Ibn Abi Waqqas seperti telah dikutib di depan.Pendapat lain menyatakan bahwa batas maksimal wasiat adalah kurang dari 1/3.Ini dipahami  dari pernyataan Rasulullah,bahwa 1/3 itu besar atau banyak.Demikian pendapat Ulama Salaf’Qatadah mengatakan Abu Bakar berwasiat dengan 1/5 hartanya,Umar dengan ¼ hartanya.Ibn Rusyid memandang,wasiat dengan 1/5 harta adalah lebih baik.
Yang popular adalah pendapat seperti dituangkan dalam kompilasi yang menyatakan maksimal wasiat adalah 1/3.Dikuatkan lagi oleh Sabda Nabi SAW. “Sesungguhnya Allah menjadikan wasiat pada kamu sekalian sepertiga harta kalian sebagai tambahan amalan kalian”
Bagaimana cara perhitungannya?.Mayoritas Ulama menyatakan bahwa sepertiga dihitung dari seluruh harta yang ditinggalkan si mati.Imam Malik merinci ,merinci batas harta yang dimilikinya.Sementara Umar Ibn Abd al Aziz menegaskan,1/3 harta dihitung dari seluruh harta peninggalan sejak wasiat dilakukan.Abu Hanifah, Ahmad  dan Syafi’I dalam satu pendapatnya,1/3 tersebut dihitung saat meninggalnya si pewasiat.
Meskipun kompilasi ini tidak menegaskan masa perhitungan dari semua peninggalan pada saat kematian si pewasiat.Penegasan ini penting ,sebab tidak jarang terjadi wasiat dilakukan jauh-jauh hari sebelim meniggal,sehingga terjadi pengurangan atau penambahan barang barang yang menjadi miliknya saat pewasiat meninggal.
Ulama yang memperbolehakan wasiat lebih dari 1/3 jika ahli waris menyetujuinya,mengemukakan dua syarat. Pertama,persetujuan diberikan setelahkematian pewasiat.karena hak kepemilikan si penerima wasiat baru berlaku setelah pewasiat meninggal.Kedua,si penerima wasiat waktu penyerahan telah memiliki kecakapan tidak terhalang karena safih.
Uraian diatas menunjukkan bahwa mayoritas pendapat menyatakan bahwa wasiat paling banyak adalah 1/3 harta peninggalan si mati.
4). Shighat  ( redaksi )
Ibn Rusyd mengatakan bahwa wasiat dapat dilaksanakan menggunakan redaksi (shighat) yang jelas atau sahih dengan kata wasiat,dan bias juga dilakukan dengankata-kata samaran ( gairu sarih). Ini dapat ditempuh karena wasiat berbeda dengan hibah.Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis,dan tidak memerlukan jawaban ( qabul ) penerimaan secara langsung.Sementara hibah memerlukan adanya jawaban penerimaan dalam satu majelis.Dalam konteks kehidupan sekarang ini,cara-cara tersebut diatas,tentu akan mengurangi kepastian hukumnya untuk mengatakan tidak ada.Untuk itu perlu diatur agar dapat dibuktikan secara otentik wasiat tersebut,yaitu dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi,atau tertulis dihadapan dua orang saksi ,atau dihadapan notaries (pasl 195 (1).Dalam pasal 203 ayat (1) ditambahkan “ Apabila surat wasiat dalam keadaan tertutup ,maka penyimpanan ditempat notaries yang membuatnya atau ditempat lain,termasuk surat –surat yang berhubungan.
Para ulama berbeda berpendapat tentang apakah penerimaan orang yang menerima wasiat merupakan syarat sahnya atau tidak?.Imam Malik berpendapat bahwa penerimaan wasiat atau qabul merupakan syarat sah.Agaknya Malik menganalogikan  wasiat dengan hibah.Berbeda dengan imam Syafi’i.Menurut Syafi’I,Kabul orang yang menerima wasiat tidak merupakan syarat sah.
Abu Hanafiah dengan kedua muridnya,Abu Yusuf dan Hasan al Syaiyibany memandang bahwa qabul dalam wasiat harus ada.Alasannya karena wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah,dan karena itu pernyatan menerima penting adanya,seperti juga transaksi yang lain.
Seperti maksud pasal 195 (1) wasiat perlu bibuktikan secara otentik,Karena wasiat merupakan tindakan hokum yang  membawa implikasi adanya perpindahan hak dari seorang kepada orang lain.Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi hal hal negative yang tidak di inginkan oleh pewasiat maupun penerima (QS al-Maidah,5 : 106 )
Adapun upaya penyaksian wasiat baik melalui saksi biasa atau notaries sebagai pejabat resmi ,dimaksudkan agar realisasi wasiat setelah pewasiat meningal dapat berjalan lancar.Ini penting karena misi wasiat sangat positif ,twrlebih lagi jika penerima wasiat adalh lembaga social keagamaan atau kemasyarakatan.Oleh karena itu kompilasi menjelaskan secara rinci tentang ketentuan-ketentuan seperti orang atau badan yang tidak berhak menerima,pembatalan wasiat dan pencabutan wasiat,seperti akan dijelaskan kemudian.

E. Cara  melaksanakan Wasiat

Untuk melaksanakan wasiat ,haruslah diperhatikan ketentuan beriut:
1.      Harta peninggalan si jenazah harus diambil lebih dahulu untuk kepentingan pengurusan jenazah,seperti membeli kain kafan,biaya pemakaman.
2.      Setelah itu,harus dilunasu utang-utangnya lebih dahulu jika ia memiliki utang.
3.      Diambil untuk memenuhi wasiat si jenazah,danjumlahnya tidak boleh dari sepertiga harta peninggalan setelah dikurangi untuk keperluan penguruan jenazah’
4.      Setelah wasiat dipenuhi,maka harta peninggalannya diwariskan kepada ahli waris yang berhak.Allah SWT.berfirman: “Jika yang meningal itu mempunyai beberapa saudara ,maka ibunya mendapat 1/6.(Pembagian pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat,atau (dan) sesudah dibayar utangnya.”

F.  Pembatalan wasiat.

Kompilasi membahas masalah ini  cukup rinci ,yaitu dalam pasal 197 : 
1.Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap dihukum karena :
a.       Dipersalahkan karena telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewasiat.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukman yan lebih berat.
c.       Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat.
d.      Dipersalahkan karena telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan wasiat itu.
2 .Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu :
a.       Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalkan pewasiat.
b.      Mengetahui adanya wasiat tersebut tapi ia menolak untuk menerimanya’
c.       Mengetahui adanya wasiat itu tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat.
3. Wasiat menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.   

Memperhatikan isi pasal 197 dapat diperoleh kesan bahwa ketentuan batalnya wasiat tersebut dianalogikan kepada  mawani’ al –irs  (penghalang dalam kewarisan) meskipun tidak seluruhnya.Namun karena tuuannya jelas,yaitu demi terealisasinya tujuan wasiat itu maka ketentuan pasal tersebut perlu disosialisasikan.
Dalam rumusan Fiqih, Sayid Sabiq merumuskan hal hal yang membatalkan wasiat sebagai berikut:
a.       Jika pewasiat menderita gila hingga meninggal.
b.      Jika penerima wasiat meninggal sebelum pewasiat meninggal.
c.       Jika benda yang diwasiatkan rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat’
Atas dasar uaraian tersebut,dalam prakteknya masyarakat atau hakim dapat mengompromikan hal hal yang membatalkan wasiat secara simultan.

G. Pencabutan  Wasiat

Pencabutan wasiat diatur dalam pasal 199 kompilasi,berbunyi :
  1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan    persetujuannya atau sudah menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali .
  2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdaarkan akte notaries bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
  3. Bila wasiat dibuat secara tertulis,maka hanya dapat di cabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte notaris.
  4. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte notaries,maka hanya dapat dicabut berdasarkan akte notaries.

Apabila wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut maka maka surat wasiat yang dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat (pasal 203 ayat 2 ). Dalam pencabutan wasiat ini,lebih banyak menyangkut soal administrasi.

H. Beberapa Ketentuan Teknis

Setelah wasiat dilaksanakan menurut ketentuan pasal 195,196,198,201,203 langkah selanjutnya adalah sebagai berikut:
1)      Jika pewasiat meninggal dunia maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaries,dibuk olehnya dihadapan ahli waris,disaksikan dua orang saksi dan denga membuat berita acara pembukaan surat wasiat itu.
2)      Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaries,maka penyimpan harus menyerahkan kepada notaries setempat atau Kantor Urusan Agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini.
3)      Setelah semua isi serta maksud surat wasiat itu diketahui maka oleh notaries atau Kantor Urusan Agama diserahkan kepada penerima wasiat guna penyelesaian selanjutnya.

Dalam kondisi-kondisi tertentu kompilasi mengaturnya dalam pasal 205 dan 206.
Pasal 205 :
Dalam waktu perang,para anggota tentara dan mereka yang termasuk golongan tentara  dan berada dalam wilayah pertermpuran atau yang berada disuatu tempat yang ada dalam kepungan musuh,dibolehlan membuat surat wasiat dihadapan seorang komandan atasannya dengan dihadiri dua orang saksi.
Pasal 206 :
Mereka yang sedang berada dalam perjalanan melalui laut dibolehkan membuat surat wasiat di hadapan nakhoda atau mualim kapal,dan jika pejabat tersebut tidak ada,maka dibuat dihadapan seorang yang menggantinya dengan dihadiri oleh dua orang saksi.
Ketentuan pada dua pasal diatas didasarkan kepada surat al – Maidah,5:106.

I. Wasiat Wajibah

Wasiat Wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal,yang diberikan pada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Disebut Wasiat Wajibah karena dua hal:
1.      Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsure kewajiban melalui perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wsiat.
2.      Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Orang yang berhak menerima wasiat wajibah,adalah cucu-cucu laki-laki maupun perempuan baik pancar laki-laki maupun pancar prempuan yang orangtuanya mati mendahului atau bersama sama dengan kakek atau neneknya.Kompilasi dalam hal ini membuat aturan sendiri,yaitu membatasi orang yang menerima wasiat wajibah adalah anak angkat dan orang tua angkat.Pasal 209 berbunyi :
1.      Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal pasal 176 sampai dengan 193 tersebut diatas,sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah,sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkatnya.
2.      Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat,diberi wasiat wajibah sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua anagkatnya.

Sebagai pengembangan dari konsep wasiat, maka ketentuan maksimal 1/3 tetap dipedomani.Kompilasi sendiri hanya membatasi orang yang menerima wasiat wajibah hanya anak angkat dan oaring tua anagkat .Tidak diketahui pasti,mengapa ada perubahan tersebut.Pertimbangannya,boleh jadi karena kompilasi telah mengintrodusir konsep penggantian kedudukan.Secara garis besar antara penggantian kedudukan atau mawali dengan wasiat wajibah hamper sama.Perbedaannya,jika dalam wasiat wajibah dibatasi penerimaannya,maka daalm penggantian kedudukan adalah menggantikan hak sesuai denagan hak yang diterima orang tuanya.
Karena itu dalam Kitab Undang Undang Hukum wasiat Mesir nomor 71 tahun 1946 menetapakan besarnya wasiat wajibah ialah sebesar yang diterima orang tuanya masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 peninggalan dan harus memenuhi dua syarat:
1.      Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima pusaka.
2.      Si mati (ayahnya) tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebasar yang telah ditetapkan padanaya.

Dasar penentuan wsaiat wajibah adalah kompromi dari pendapat –pendapat ulama salaf dan khalaf ,yang menurut Fathir Rahman ,dijelaskan:;
1.      Tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat kerabat yang tdak dapat menerima pusaka ialah diambil dari pendapat pendapat fuqaha’ dan tabi’in besar ahli fiqih dan ahli hadis.
2.      Pemberian sebagian harta peninggalan si mati kepada kerabat-kerabat yang tidak menerima pusaka ,berfungsilah wasiat wajibah.Bila si mati tidak berwasiat adalah diambil dari pendapat mazhab Ibn Hazm,yang di nukil dari fuqaha’ tabi’in dan pendapat Ahmad.
3.      Penghususan kerabat-kerabat yang tidak dapat menerima pusakamkepad cucu-cucu dan pembatasan penerimaan sebesar 1/3 peninggalan adalah didasarkan pendapat Ibn Hazm dan kaidah syariah

Demikian uraian wasiat wajibah,yang pelaksanaan diserahkan kepada inisiatif hakim atau penguasa.Karena muatan tujuan wasiat wajibah adalh untuk mendistribusikan keadilan,yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah.namunoleh nash tidak diberikan,karena statusnya zawil al arham .Ini sejalan dengan kaidah fiqih:Tindakan penguasa (imam) kepada rakyatnya,adalah berdasar pertimbangan maslahat.

A.     Syarat syarat wasiat wajibah
Wasiat wajibah ini harus memenuhi dua syarat:
Pertama: yang wajib menerima  wasiat,bukan waris.Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit.tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Maka jikalau seorang meninggal  dengan meninggalkan: ibu,dua anak perempuan,dua anak perempuan dari anak laki-laki,dua anak lelaki dari anak lelaki dan seorang saudara laki-laki sekandung,maka tidak ada wasiat untuk anak-anak dari anak lelaki,karena mereka menerima 1/6 harta.Andaikata tidak ada dua anak lelaki dari anak laki-laki,tentulah dua anak perempuan dari anak lelaki,tidak mendapat pusaka dan wajiblah untuknya wasiat wajibah dengan jumlah 1/3 hatra peninggalan,lalu masing-masingnya menerima 1/6 dari harta peninggalan.
Kedua :orang yang meninggal,baik kakek maupun nenek belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat,jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain,seperti hibah umpamanya.
Dan jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah,maka   wajiblah disempurnakan wasiat itu.
Dalam menguraiakn masalah-masalah pusaka  yang ada padanyawasiat ikhtiariyah,ialah apabila wasiat itu berlaku tanpa perlu kepada persetujuan seseorang.,Karena wasiat itu dalam batas sepertiga harta dan tidak ada pula wasiat wajibah,baik wasiat ikhtiariyah itu sejumlah yang tertentu atau sejumlah yang biasa dilakukan,yaitu seperti seperempat ,dan tidak pula dikadarkan dengan bagian salah seorang waris,maka wasiat itu diambil dari harta peninggalan setelah menyelesaikan utang-utang jika ada.
Kemudian dibagiakan sisa harta peninggalan kepada para waris. Jikalau seorang wanita meninggal dengan meninggalkan: suami, ibu, anak lelaki dan saudara perempuan sekandung yang diwasiatkan untuknya sepertiga harta, sedang harta peninggalan ada seratus delapan puluh hektar tanah maka lebih dahulu kita ambil atau kita keluarkan juml;ah yang diwasiatkan itu, yaitu 60 hektar, kita berikan kepada saudara perempuan sekandung dan sisanya yaitu 120 hektar diberikan kepada para waris menurut ketentuan0ketentuan syara.
Suami menerima 30 hektar, ibu menerima 20 hektar dan anak lelaki menerima 70 hektar.
Apabila wasiat itu lebih dari sepertiga harta maka wasiat itu hanya berlaku sejumlah sepertiga harta tanpa perlu persetujuan seseorang, sedang yang lebih sepertiga harta, memerlukan persetujuan para waris.
Wasiat dalam keadaan ini ada 3 bentuk:
a.   Semua waris membenarkan wasiat yang dilakukan oleh orang yang telah meninggal, sedang mereka mengetahui hokum yang ,ereka lakukan, dalam keadaan ini, diberilah jumlah wasiat dari harta peninggalan dan sisanyalah yang dibagai antara para waris.
b.     Para waris membenarkan yang lebih dari sepertiga. Dalam bentuk ini berlaku wasiat dalam batas sepertiga tanpa perlu persetujuan seseorang, dan diambil sepertiga itu dari harta peninggalan diberikan kepada orang yang menerima wasiat, sedang yang dua pertiga dibagi antara para waris.
c.   Sebagaian para waris menyetujui wasiat yang lebih dari sepertiga, sedang yang lain tidak menyetujuinya, dalam hal ini dibagi harta peninggalan dua kali:
Pertama: dengan angapan bahwa semua waris, menyetujui yang lebih itu, dan sekali lagi dengan anggapan bahwa, waris tidka menyetujuinya. Maka waris yang menyetujui mengambil bagian menurut bagian yang diterima dengan persetujuannya itu. Perbedaaan antara bagiannya yang dianggap dia menyetujui dan yang dianggap tidak menyetujui digabungkan kepada wasiat, sednag orang yang tidak menyetujui mengambila bagiannya dengan anggapan tidak menyatuju.

            Demikianlah dengan ringkas, cara membagi harta pusaka yang terdapat padanya wasiat, ikhtiriyah saja yang terdapat padanya wasiat wajibah saja dan yang terdapat padanya kedua macam wasiat itu. Mudah-mudahan wasiat wajibah ini mendapat perhatian dari masyarakat Indonesia, agar cucu-cucu yang tidak mendapat pusaka itu dapat menerima hak dari orangtuanya masing-masing.









KESIMPULAN


a.       wasiat adalah landasan pertama pengalihan hak milik yang menduduki posisi utama disisi Allah, karena wasiat sangat mempertimbangkan berbagai syarat dan kondisi objektif yang secara spesifik melingkupi diri pewasiat. Wasiat juga mengimplementasikan keadilan spesifik pada tingkat pribadi.

b.      Dalam wasiat tidak terdapat batasan bagian tertentu, yang harus diikuti oleh pewasiat, persentasi bagian dalam wasiat mengikuti keinginan pewasiat sendiri berdasarkan pandangannya yang terbaik umunya sepertiga dari jumlah harta

c.       Allah menghormati keinginan manusia untuk membagiakan hartanya sesuai dengan kehendaknya. Allah hanya memberikan dorongan dan motivasi bagi pewasiat agar tidak melupakan pihak-pihka tertentu yang dipandang oleh Allah lebih baik jika di utamakan memperoleh wasiat (yaitu kedua orang tua, keluarga dekat, anak yatim, orang miskin).
























PENUTUP


Wassyiat ialah sesuatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesuadah meninggal yang berwasiat.
            Jelasnya pengelolaan terhadap yang jadi objek wasiat, berlaku setelah yang berwasiat itu meninggal.
Menurut asal hukum, wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dalam segala keadaan. Karenanya tak ada dalam syariat islam sesuatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.
Demikianlah makalah yang berjudul “wasiat hidup” ini,makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan dari semua pembaca. Semoaga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.




























DAFTAR PUSTAKA


Ash Shiddieqy, Muhammad HAsbi, 1998. Fiqh Mawaris. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
Khairul Umam, Dian, 1999. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.
Rofiq, Ahmad, 2000. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Shahrur, Muhammad, 2004. Metodologi Fiqh Islam Kontemporer: Jakarta: Elsa Q Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar